Selasa, 26 Oktober 2010

MAS KAITO DAN HUSNUL KHOTIMAH



Mas Kaito namanya.Mengaku asal Solo pria separuh baya ini dikenal suka bergaul dengan siapa saja. Kulitnya yang menghitam seakan menyiratkan bahwa dia adalah pekerja keras untuk kehidupan. Saya tidak tahu pasti bagaimana dan kapan dia ada di Bandung. Setahu saya dia sudah ada sebelum saya hijrah ke Bandung dari sebuah kota kecil diujung timur Pulau Jawa. Ketika saya di Bandung pun saya tidak mengenal akrab yang namanya Mas Kaito. Saya baru mengenal akrab pria yang hidupnya nomaden ini setelah saya meminta jasanya untuk memijat tangan saya yang terkilir. Hebat, pijatan Mas Kaito manjur. Kata orang sini dia disebut sudah tahu urat.

Memang misterius keberadaan Mas Kaito di Bandung. Biarpun dia mengaku punya keluarga yang harus dia nafkahi tapi saya tidak pernah melihat dia bersama keluarganya. Yah, mau berkeluarga bagaimana la wong hidupnya saja nomaden. Pekerjaannya tidak tetap. Dari tukang kebun, buruh angkut barang,tukang gali sumur,tukang gali kubur sampai memijat dia lakoni. Duit yang dia kumpulkan juga tidak tahu dikemanakan. Mungkin benar juga pengakuan Mas Kaito bahwa dia punya keluarga di Solo yang harus dinafkahi. Kabar lain menyebutkan dia pernah menikahi urang Bandung namun akhirnya bercerai gara gara masalah ekonomi. Entahlah …

Unik memang cara bergaul Mas Kaito. Dia selalu berusaha menggunakan bahasa Sunda dengan logat Jawanya yang medok. Walau ngomong Sundanya jago, namun tetap saja saya geli lantaran logatnya yang sangat njawani itu. Entah lantaran itu, saya selalu berbahasa Jawa bila ngobrol dengan Mas Kaito. Awalnya dia selalu membalas dengan menggunakan bahasa Sunda, tapi mungkin lantaran sungkan dia akhirnya mau juga berbahasa Jawa bila ngobrol dengan saya.

Mas Kaito adalah figur yang mudah dimintai tolong. Orang tidak perlu memintanya dua kali, sekali saja dia dimintai tolong dia akan langsung menyanggupinya bila dia mampu dan ada waktu. Namun lantaran gaya hidupnya yang semau gue, tinggal tidak menentu dan berpenampilan kusam itulah, maka masyarakat dikampung saya berada tidak terlalu menghargai Mas Kaito. Pria berambut ikal ini tidak hanya termarjinalkan secara ekonomi namun juga secara sosial dianggap remeh walau dia bukan sampah masyarakat.

Lantaran dianggap remeh itulah, maka masyarakat disini sering tidak menyebutnya dengan sapaan Mas Kaito namun ‘Si Kaito’. Penyebutan ‘si’ sebagai awalan menyebut nama seseorang dalam bahasa Sunda dianggap tidak baik bahkan cenderung kurang ajar. Misalnya, “Si Fulan teh kumaha nya, sapopoe gawena ngan saukur hees wae. Dasar pangedulan!.” Artinya kurang lebih,”Si Fulan ini bagaimana sih, kerjaannya cuman tidur doang. Dasar pemalas!.” Nah, Mas Kaito yang sering dipanggil ‘Si Kaito’ ini jelas bukan sampah masyarakat atau orang yang tidak disukai sehingga dia dipanggil demikian. Masyarakat dikampung saya – mungkin – sudah berpikiran materialistis sehingga orang yang tidak berdaya secara materi pantas dipanggil dengan sebutan ‘si’ walau dia bukan orang jahat.

Yang pasti, setahu saya Mas Kaito tidak terlalu peduli dengan sebutan ‘si’ didepan namanya. Dia tetap sebagai Kaito yang lugu, jujur, tidak neko neko dan hidup sangat bersahaja. Dalam setiap pembagian zakat fitrah namanya selalu ada dalam daftar mustahik. Suka atau tidak Mas Kaito sudah menjadi bagian dari masyarakat kami. Ada sampah yang menggunduk dan perlu dibuang segera, panggil Mas Kaito. Ada yang perlu dipijat dan perlu dilemaskan otot ototnya, panggil Mas Kaito. Perlu tenaga untuk menggali kubur atau sumur?. Panggil Mas Kaito ...

Dikalangan jamaah masjid dikampung saya, nama Mas Kaito kurang disebut. Itu lantaran dia memang sangat jarang berada dimasjid apalagi hadir dipengajian atau ikut shalat berjamaah. Namun, tidak biasanya malam itu menjelang shalat Isya disaat jamaah menunggu iqomah dikumandangkan, saya melihat Mas Kaito ada dalam deretan jamaah. Dia tidak banyak bicara bahkan terkesan merenung, menafakuri sesuatu yang hanya dia yang tahu. Ketika iqomah dikumandangkan dan jamaah berdiri membentuk barisan, Mas Kaito bergegas mengisi shaf terdepan. Dia persis disamping kiri saya. Saya tidak merasakan hal yang tidak biasa selama rakaat pertama. Hanya setelah rakaat kedua dan imam hampir selesai membaca Surah Sal Fatihah, saya merasakan ada yang berat dibahu kiri saya. Mas Kaito seperti bersandar. Setelah Surah Al Fatihah selesai dibacakan dan kami akan mengamininya, saya mendadak hampir terjatuh lantaran beban dibahu kiri saya semakin berat!. Dan akhirnya sesuatu yang luar biasa terjadi, “Buukkk!!!.” Seakan berdentum badan Mas Kaito terjatuh didepan saya dalam posisi menyamping. Tidak ada suara merintih yang keluar dari bibirnya, hanya lirih terdengar suara mendengkur. Sebagian jamaah yang bubar akhirnya menggotong tubuh Mas Kaito agak kebelakang. Kami merubunginya, ada yang memijat, ada yang sibuk mencari minyak telon dan ada yang mengipasi tubuh Mas kaito. Namun dengan pasti seorang jamaah yang sedari tadi memegang nadi Mas Kaito berujar, “Atos teu ayaan.” Artinya, Mas Kaito telah meninggal dunia ...

Siapa yang bakal mengira orang yang sering dianggap tidak berarti semacam Mas Kaito bisa menjemput kematiannya ditempat yang suci dan dalam keadaan beribadah, bertataqarub kepada Rabbnya?. Mungkin orang akan berpikir,”Ah, orang seperti Si Kaito matinya mungkin dalam keadaan sendiri dipinggir kali.” Namun kejadian hebat yang saya lihat didepan mata saya menyiratkan bahwa bila Allah Azza Wa Jalla ridho terhadap hambaNya - walau dia dipandang hina dalam pandangan manusia – maka dia akan diangkat derajatnya. Secara kasat mata Mas Kaito menjemput ajalnya dalam keadaan Husnul Khotimah. Sebuah akhir kehidupan yang pasti diidam idamkan oleh seorang mukmin ... Allaahumma hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti waan najaata minan naari wal ‘afwa ‘indal hisaab … Ya Allah ringankanlah kami dalam menjemput kematian, jauhkanlah kami dari neraka dan ampunilah kami pada hari terjadinya hisab.

Sesuatu yang luar biasa tidak berhenmti hanya sampai disitu. Karena almarhum Mas Kaito dikenal tidak punya tempat tinggal tetap, maka berbondong bondong orang menawarkan rumahnya sebagai rumah duka tempat bersemayam jenazah Mas Kaito. Infaq dan sodaqoh pun kemudian mengalir deras, tanpa kami tahu kepada siapa uang sebanyak itu akan diserahkan. Orang seakan tersadarkan bahwa Allah tak punya alasan untuk ditolak untuk menentukan siapa hambaNya yang akan dipilih menikmati Husnul Khotimah. Toh, juga pernah dikisahkan bagaimana Allah masukkan seorang pelacur yang hina dina dalam pandangan manusia kedalam surgaNya hanya lantaran dia ikhlas memberi minum seekor anjing yang kehausan.

Akhirnya, alhamdulillah kami menemukan keluarga Mas Kaito yang berhak menerima uang titipan masyarakat yang bersimpati. Ternyata Mas Kaito memiliki anak yang masih kecil dikampung halamannya. Anak inilah yang dia nafkahi secara rutin dari hasil jerih payahnya selama di Bandung.

Ya Allah, masukkanlah kami dalam kumpulan hamba hambaMu yang telah Kau beri nikmat Husnul Khotimah, sebagaimana yang Kau anugerahkan kepada salah satu hambaMu, Mas Kaito …

Senin, 27 Juli 2009

ETIKA BERUNJUK RASA


Menyampaikan aspirasi, ketidak puasan bahkan penolakan merupakan hal yang biasa disebuah negara yang berdaulat. Dalam skala yang lebih besar dan menyangkut keberadaan massa, kita mengenalnya sebagai aksi demo atau unjuk rasa. Ada yang berkenaan dengan masalah buruh, tuntutan kenaikan upah, ketidakadilan dan sebagainya. Unjuk rasa atau aksi demo saat ini juga dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk menuntut adanya perubahan politik dan merupakan salah satu bagian dari hak warga negara untuk menyalurkan aspirasinya.

Yang menjadi persoalan, sejauh mana unjuk rasa yang dilakukan elemen masyarakat ini berada dalam koridor aturan yang ditentukan, etika serta tidak mengganggu hak warga negara yang tidak ikut berunjuk rasa. Hal ini perlu dilontarkan sebab tidak jarang unjuk rasa mengakibatkan masyarakat merasa tidak nyaman bahkan tidak aman. Apalagi, bila unjuk rasa kemudian diakhiri dengan kerusuhan dan aksi destruktif lainnya yang mengakibatkan adanya korban jiwa.

Karena itulah etika dalam berunjuk rasa perlu ditanamkan dan kemudian dijalankan oleh semua komponen masyarakat. Sebab dikala kita ingin suara hati kita didengar oleh pihak lain, dilain pihak kita juga harus menghormati hak warga lain untuk tidak terganggu aktifitas dan keamanannya.

Maka sungguh menyejukkan ketika massa melakukan aksi turun kejalan namun aktifitas masyarakat berjalan sebagaimana biasanya meskipun mereka paling tidak harus menerima kenyataan bila lalu lintas menjadi terganggu. Tapi selebihnya mereka tetap merasa nyaman dan aman dijalan. Kaum ibu tetap enjoy berbelanja kepasar, karyawan tetap bisa masuk kerja dan anak sekolah tidak harus jalan kaki karena angkutan kota tidak berani beroperasi.

Kita tentu saja bisa menerima adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan secara beretika. Bagaimanapun juga itu adalah hak warga negara untuk menyalurkan aspirasinya bila lembaga resmi sudah dirasa tidak lagi bisa diandalkan. Namun, sebagian masyarakat lain pasti ingin dihormati pula haknya untuk menjalankan aktifitasnya secara normal. (Syam Alam)

MEMAKNAI KEMERDEKAAN


Satu hal yang tak terbantahkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diraih berkat perjuangan gigih yang tak mengenal lelah dan bukannya atas kemurahan hati atau hadiah dari bangsa lain. Darah yang membasahi pertiwi, genangan air mata serta niat tulus tanpa pamrih para pejuang bangsa akhirnya membuahkan hasilnya, sebuah kemerdekaan yang kita nikmati hingga kini.

Namun, adalah juga tak terbantahkan bahwa masih banyak saudara saudara kita yang hingga kini belum merasakan sepenuhnya manisnya kemerdekaan. Hak hidup mereka masih tergadaikan, kebebasan berpendapat mereka masih dikebiri dan terlebih lagi masih begitu banyak rakyat Indonesia yang hidupnya berada dibawah garis kemiskinan.

Kemiskinan struktural telah terjadi dimana mana dan kita sepakat menjadikan kemiskinan itu sebagai common enemy. Namun sayang, hingga kini keberpihakan kita kepada kaum miskin masih setengah hati. Ibaratnya, kita membicarakan kemiskinan dan kelaparan sementara mulut kita sibuk mengunyah sambil mengitari meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Empati kita yang tidak diikuti oleh sebuah tindakan nyata hanya akan memperparah rasa sakit hati rakyat miskin. Nah, untuk rakyat miskin inilah masihkah kita mau mengatakan bahwa mereka juga ikut menikmati kemerdekaan?.

Secara fisik jelas kita memang sudah tidak mengalami penjajahan oleh bangsa lain. Namun ternyata bentuk penindasan yang lain masih berlangsung. Rakyat yang dibodohi, rakyat yang hidupnya diperbudak, rakyat yang hanya dijadikan obyek eksploitasi, rakyat yang diperjual belikan sebagai pelacur, rakyat yang dipasung hak hidupnya bahkan rakyat yang tidak dibela dimata hukum, bukankah mereka adalah rakyat yang terjajah?. Pertanyaan selanjutnya, adilkah ketika kemerdekaan hanya dinikmati oleh sebagian rakyat saja sementara yang lain gigit jari dalam hidup yang terlunta lunta dinegerinya sendiri?.

Ketika para pahlawan bangsa berdarah darah memperjuangkan kemerdekaan, mereka pastilah tidak sudi mempersembahkan kemerdekaan hanya untuk sebagian rakyat Indonesia saja. Mereka berjuang tulus untuk semua saudara sebangsa setanah air. Berkorban apapun telah mereka lakukan hanya agar tidak ada lagi penindasan dibumi pertiwi. Coba bandingkan dengan kita yang masih sering berjuang untuk diri sendiri, keluarga, kelompok, golongan dan kroni kroni. (Syam Alam)

Minggu, 26 Juli 2009

ANAK MASA DEPAN


Anak anak bangsa adalah aset dimasa depan. Pada mereka kita mengharapkan adanya sebuah generasi yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih jujur pada sejarah. Karena itulah, adalah juga tanggung jawab kita untuk mempersiapkan anak anak agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan berani menatap kehidupan.

Namun yang harus dipahami, betapa anak anak butuh ‘ruang bermain’ yang dapat
mengantarkan mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Sementara yang sering kita saksikan anak anak tak jarang kehilangan ruang untuk bermain sesuai usia dan tingkat pemahamannya. Mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas teknologi serta kecanggihan tontonan dan komunikasi. Dalam posisi seperti ini mereka sering menjadi tidak terlindungi dari informasi yang menyesatkan. Hasilnya, begitu banyak kejahatan yang dilakukan anak anak hanya karena mereka terinspirasi untuk meng copy paste tontonan kekerasan dan sejenisnya yang meruyak tak kenal waktu.

Sementara disisi lain, anak anak juga sering termarjinalkan sebagai obyek dari ambisi orang tua yang tidak terkendali. Mereka bahkan tidak punya hak untuk menikmati masa kanak kanak mereka. Boro boro bisa menikmati pendidikan, untuk berpikir bermain pun mereka terpasung. Kita bahkan telah merampas tawa dan keceriaan mereka. Mereka terlempar hidup sebagai buruh kasar, terhempas dijalanan bahkan diperjual belikan hak hidupnya. Nyaris tanpa perlindungan.

Dan ketika kekerasan sering mereka terima, hal ini bukannya menumbuhkan sikap bertanggung jawab pada kehidupannya, sebab sebaliknya anak anak kemudian menjadi terbiasa dengan kekerasan dan celakanya kemudian menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.

Maka sudah saatnya kita bangunkan kembali nurani kita agar lebih mampu memahami hakikat perilaku dan dunia anak anak. Bukankah kita dulu juga tumbuh sebagai anak anak sebelum kemudian dewasa dan uzur?. Bukankah kita dulu senang bila ‘ruang bermain’ kita diberikan dengan sepenuhnya tanpa dikebiri dan dimanipulasi?.

Sejatinya, itulah yang juga diinginkan oleh anak anak masa kini.
Dalam istilah Kahlil Gibran, kita ini hanyalah busur belaka ketika anak anak menjadi anak panahnya. Dan semestinya kita bisa menjadi busur yang mantap. Sebab hanya dalam rentangan busur yang mantap inilah kemudian anak panah melesat jauh menemui sasaran. Menuju masa depannya. (Syam Alam)

Jumat, 24 Juli 2009

AIR KITA SEMUA


Air bagi anda mungkin tidak istimewa. Setiap pagi, bangun tidur anda kekamar mandi dan membersihkan diri sepuasnya. Anda menggunakan air yang melimpah sehingga tumpah dimana mana. Sementara sopir anda juga sibuk memandikan mobil kesayangan anda. Dia menggunakan slang, air lalu ngocor dengan derasnya dan tumpah kemana mana. Setelah itu, tukang kebun mulai menyirami tanaman dihalaman yang luas juga dengan slang. Air memercik kemana mana, tumpah kemana mana.

Pagi itu pembantu anda pun sudah bangun dan dia mulai mencuci alat alat dapur yang kotor lalu mencuci pakaian keluarga anda. Lalu semua anggota keluarga anda pun pagi itu juga menggunakan air untuk keperluannya. Semuanya. Mereka kadang menyiram kloset atau lantai kamar mandi dengan air yang berlebihan. Kadang ada juga yang lupa menutup kran air hingga air tumpah kemana mana.

Begitulah seterusnya dilakukan dari pagi, siang, sore, malam hingga kepagi lagi. Lagi dan lagi, sementara kita tidak pernah mau berpikir bahwa air yang kita gunakan suatu saat akan berhenti ngocor karena habis dieksploitasi secara masif. Saking dianggap biasa kita jadi tidak peduli bila air kemudian tumpah kemana mana. Orang sering berpikir picik,”La wong air airku sendiri kok , mau tak pake seenaknya ya itu urusanku!”. Hah?!. Airnya sendiri?!.

Dunia saat ini diancam oleh krisis air bersih. Bukan semata mata karena pertumbuhan penduduk dunia yang terus meningkat atau terganggunya keseimbangan ekosistem, namun juga karena penggunaan dan pemanfaatan air yang berlebihan dan tidak benar. Sudah saatnya kita memperlakukan air sebagai bahan bernilai yang dimanfaatkan secara bijak dan dijaga kelangsungannya.

Anehnya, dibalik sikap semena mena kita dalam mengekploitasi air, disisi lain kita justeru menyadari bahwa air merupakan sumber utama kehidupan. Kita menyadari tak dapat bertahan hidup tanpa air. Tapi ketika kita dihadapkan pada pemanfaatan air bagi kepentingan pribadi, kita pun berpikir parsial bahwa itu urusan kita sendiri dan kita cenderung menjadi tamak. Padahal, air dimuka bumi ini juga milik kita yang harus dijaga secara bersama sama pula. Karena yakinlah, kerusakan alam dibagian bumi yang lain akhirnya juga berdampak sampai kehalaman rumah kita.

Maka sudah saatnya kita mulai menghargai air dengan melakukan pemanfaatan sumber daya ini dengan baik dan benar. Banyak hal yang bisa lakukan untuk menghargai air. Tentu saja dimulai dari diri kita hingga keseluruh anggota keluarga. Hal ini dimulai dari tahap memberikan pemahaman, mengajarkan hingga dilaksanakan dalam perilaku semua anggota keluarga.

Biasanya kita sering meremehkan tahapan seperti ini. Padahal inilah langkah awal dalam mewariskan perilaku arif memanfaatkan air kesemua anggota keluarga. Pengajaran dan perilaku aktif kita pada akhirnya akan terus dilakukan semua anggota keluarga. Pada gilirannya kita harapkan perilaku seperti itu juga akan diwariskan kegenerasi berikutnya. Jadi jelas ini bukan masalah remeh temeh tapi justeru awal yang krusial yang sering dilupakan.

Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai langkah awal menanamkan perilaku bijak memanfaatkan air pada keluarga?. Jelas yang pertama adalah memberikan pemahaman yang ajeg bahwa air adalah sumber kehidupan. Kita bisa menyisipkan materi pembicaraan tentang air dalam setiap kesempatan berkumpul bersama keluarga. Dari pemahaman yang sama inilah akhirnya semua anggota keluarga akan memiliki perilaku bijak yang sama pula. Bayangkan, bila ini dilakukan oleh semua keluarga dinegeri ini bahkan dunia. Mimpikah ini?. Boleh jadi mimpi. Tapi akan lebih tepat kalau ini disebut sebagai harapan.

Lalu bagaimana perilaku kita sehari hari dalam memanfaatkan air agar hemat, bermanfaat dan tidak mubazir?. Contoh sederhana adalah mematikan kran air saat menggosok gigi, memanfaatkan air bekas mencuci beras, sayur dan buah untuk menyiram tanaman, menggunakan ember saat mencuci mobil dan bukan slang karena akan sangat boros sekali. Yang tak kalah pentingnya adalah tidak membiarkan kran yang bocor karena walau setetes demi setes bila dibiarkan dapat membuang air hingga 13 liter perhari. Masih banyak yang bisa kita lakukan agar penggunaan air benar benar tepat, hemat dan bermanfaat.

Karena air merupakan sumber kehidupan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka sudah waktunya kita bersikap arif dalam mengkonsumsi air. Memang benar air adalah sumber kehidupan sehingga tanpa air maka kehidupan akan mustahil.(Syam Alam)
Powered By Blogger

SEBUTLAH INI HANYA KERISAUAN
DIRUANG TUNGGU
SALING BERBAGI MENYIKAPI HIDUP
YANG TERUS BERGERAK

DAN TAK PERNAH KOMPROMI

TERIMA KASIH ANDA SUDAH MENENGOK
SIAPA TAHU
KEGUNDAHAN SAYA
ADALAH JUGA
KEGUNDAHAN ANDA

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Semoga apa yang saya tulis ini bisa memberi arti. Saya tidak menciptakan. Saya hanya merangkainya saja. Merangkum yang tercampak ditrotoar. Menggamit yang hampir terlupakan. Tak lebih. Sebab saya hanya ingin berbagi mimpi. Boleh jadi itu mimpi kita bersama. Tentang negeri yang bisa menjadi tempat bernaung bagi rakyatnya. Tentang alam yang mau menjadi teman berkisah. Tentang kedamaian yang sudah lama tak berkirim sapa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak bercerita. Tentang anak manusia yang terusir dari tanahnya sendiri. Tentang anak manusia yang tak bisa menghidupi keluarganya. Tentang anak manusia yang dimiskinkan, dibuat tak berdaya bahkan untuk menolong dirinya sendiri tak kuasa. Sebab perjalanan hidup ini telah banyak mengajarkan, apalah artinya kita bila tidak mampu memberi arti bagi sesama.